Minggu, 01 Februari 2015

kebijakan moneter ekonomi syariah



BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Perekonomian suatu negara erat kaitannya, salah satunya, dengan kebijakan moneter. Kebijakan moneter yang umum, dilakukan dengan menggunakan instrumen suku bunga. Namun, pada kenyataanya, suku bunga ini sangat terpengaruh dengan gejolak perekonomian. Sehingga, terkadang, suku bunga ini malah menjadi salah satu pencetus adanya krisis ekonomi yang terjadi di suatu negara. Oleh karena itu, kebijakan moneter syariah merupakan salah satu jawaban dari permasalahan tersebut. Dalam kebijakan moneter syariah, tidak dikenal adanya sistem bunga. Instrumen-instrumen yang digunakan dalam kebijakan moneter syariah juga berbeda dengan kebijakan moneter pada umumnya karena tidak dikenalnya sistem bunga tersebut. Namun, justru dengan tidak dikenalnya sistem bunga tersebut, menjadikan kebijakan moneter syariah lebih tahan terhadap gejolak perekonomian sehingga  pada akhirnya tujuan akhir dari kebijakan moneter dapat tercapai.
Indonesia adalah negara dengan mayoritas  penduduknya beragama Islam. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Islam tentu pantas  juga bagi Indonesia jika menyandarkan ekonominya dengan basis syariah. Hal ini sejalan dengan pencanangan Gerakan Ekonomi Syariah (GRES!) yang dilakukan oleh Presiden dengan harapan agar mampu mendorong misi Indonesia untuk menjadi  pusat perekonomian syariah dunia.
Sistem ekonomi syariah dianggap perlu diperkuat di Indonesia pasalnya sistem ini terbukti mampu bertahan saat perekonomian dunia mengalami gejolak. Sistem ekonomi ini mampu bertahan karena nilai-nilai yang ada di dalamnya telah menghindarkannya dari spekulasi.
Dalam kerangka kebijakan makroekonomi, sistem ekonomi syariah ini menyentuh baik terhadap kebijakan fiskal, kebijakan moneter, maupun kebijakan sektor riil. Namun, utamanya sistem ini berkaitan erat dengan kebijakan moneter. Hal ini disebabkan karena kebijakan moneter utamanya digunakan untuk mempengaruhi variabel keuangan seperti suku bunga dan penawaran uang. Dengan mengatur kedua variabel keuangan ini, diharapkan kestabilan nilai uang akan tercapai sehingga pada akhirnya stabilitas ekonomi akan tercapai juga. Namun, pada kenyataannya, suku bunga merupakan sumber  permasalahan ketidakstabilan perekonomian. Hal ini disebabkan suku bunga merupakan instrumen yang menjadikan ketidakseimbangan sektor riil dan moneter. Oleh karena itu, dengan adanya kebijakan moneter syariah yang tidak mengenal suku  bunga sebagai instrumennya akan mampu menjadi alat yang baru bagi Indonesia dalam menjaga stabilitas perkenomiannya.
B.     Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian kebijakan moneter ekonomi islam?
b.      Apa intrumen kebijakan moneter dalam ekonomi islam?
c.       Apa tujuan Kebijkan moneter dalam ekonomi islam?
d.      Bagaimana Kebijakan Moneter dalam ekonomi islam?

Teknis penulisan makalah ini berpedoman pada buku pedoman penulisan karya ilmiah Universitas Negeri Malang (UM, 2010).



























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kebijakan Moneter
            Kebijakan moneter merupakan salah satu kebijakan makroekonomi yang digunakan oleh bank sentral untuk mencapai tujuan akhir berupa stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan keseimbangan neraca pembayaran. Namun, Indonesia sendiri  dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral menganut kebijakan moneter dengan tujuan tunggal yaitu stabilitas nilai rupiah.
Adapun kebijakan moneter ini adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang beredar.   Jumlah uang yang beredar, dalam analisis ekonomi makro, berpengaruh penting terhadap tingkat output perekonomian, juga terhadap stabilitas harga.  Jumlah uang beredar ini, dalam kebijakan moneter konvensional, diatur dengan instrumen suku bunga yang dikontrol oleh bank sentral. Dalam praktiknya, Bank Indonesia sebagai bank sentral, mengeluarkan kebijakan untuk mengatur tingkat suku bunga demi mempertahankan stabilitas nilai rupiah. Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar.  Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
o   Kebijakan moneter ekspansif (Monetary expansive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat (permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi. Kebijakan ini disebut juga kebijakan moneter longgar (easy money policy)
o   Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy).  
      Namun, pada kenyataannya, kebijakan moneter ini tidak selalu tahan dengan gejolak perekonomian. Hal ini bisa dilihat pada krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dan tahun 2008. Krisis yang terjadi tersebut salah satunya disebabkan karena tidak seimbangnya instrumen kebijakan moneter.
      Salah satu cara yang bisa digunakan untuk menghadapi hal-hal di atas adalah dengan menggunakan kebijakan moneter syariah. Dalam kebijakan moneter syariah, tidak dikenal adanya instrumen suku bunga sehingga menjamin kestabilan perekonomian. Hal ini dikarenakan suku bunga merupakan instrumen yang menyebabkan ketidakseimbangan sektor riil dan moneter.  Dalam sistem ekonomi syariah yang dikenal bukanlah sistem suku bunga melainkan sistem pembagian keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing). Besar kecilnya pembagian keuntungan tergantung pada kegiatan investasi dan pembiayaan yang dilakukan di sektor riil. Hasil dari investasi dan pembiayaan yang dilakukan bank di sektor riil yang menentukan besar kecilnya pembagian keuntungan di sektor moneter. Ini berarti sektor moneter bergantung pada sektor riil.
      Oleh karena dalam kebijakan moneter syariah tidak dikenal sistem bunga, maka bank sentral tidak dapat menerapkan kebijakan discount rate. Dengan menghapuskan sistem bunga ini tidak menjadi penghambat dalam mengontrol jumlah uang beredar dalam perekonomian.
B.     Instrumen Kebijakan Moneter dalam Ekonomi Islam
Instrumen moneter syariah adalah hukum syariah. Hampir semua instrumen moneter pelaksanaan kebijakan moneter konvensional maupun surat berharga yang menjadi underlying-nya mengandung unsur bunga. Oleh karena itu instrumen-instrumen konvensional yang mengandung unsur bunga (bank rates, discount rate, open market operation dengan sekuritas bunga yang ditetapkan didepan) tidak dapat digunakan pada pelaksanaan kebijakan moneter berbasis Islam.
Tetapi sejumlah instrument kebijakan moneter konvensional menurut sejumlah pakar ekonomi Islam masih dapat digunakan untuk mengontrol uang dan kredit, seperti Reserve Requirement, overall and selecting credit ceiling, moral suasion and change in monetary base.
Dalam ekonomi Islam, tidak ada sistem bunga sehingga bank sentral tidak dapat menerapkan kebijakan discount rate tersebut. Bank Sentral Islam memerlukan instrumen yang bebas bunga untuk mengontrol kebijakan ekonomi moneter dalam ekonomi Islam. Dalam hal ini, terdapat beberapa instrumen bebas bunga yang dapat digunakan oleh bank sentral untuk meningkatkan atau menurunkan uang beredar. Penghapusan sistem bunga, tidak menghambat untuk mengontrol jumlah uang beredar dalam ekonomi.
Secara mendasar, terdapat beberapa instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam,  antara lain:
1.      Reserve Ratio
Adalah suatu presentase tertentu dari simpanan bank yang harus dipegang oleh bank sentral, misalnya 5 %. Jika bank sentral ingin mengontrol jumlah uang beredar, dapat menaikkan Reserve Ratio misalnya dari 5 persen menjadi 20 % yang dampaknya sisa uang yang ada pada komersial bank menjadi lebih sedikit, begitu sebaliknya.
2.      Moral Persuassion
Bank sentral dapat membujuk bank-bank untuk meningkatkan permintaan kredit sebagai tanggung jawab mereka ketika ekonomi berada dalam keadaan depresi. Dampaknya, kredit dikucurkan maka uang dapat dipompa ke dalam ekonomi.
3.      Lending Ratio
Dalam ekonomi Islam, tidak ada istilah Lending (meminjamkan), lending ratio dalam hal ini berarti Qardhul Hasan (pinjaman kebaikan).
4.      Refinance Ratio
Adalah sejumlah proporsi dari pinjaman bebas bunga. Ketika refinance  ratio meningkat, pembiayaan yang diberikan meningkat, dan ketika refinance  ratio turun, bank komersial harus hati-hati karena mereka tidak di dorong untuk memberikan pinjaman.
5.      Profit Sharing Ratio
Ratio bagi keuntungan (profit sharing ratio) harus ditentukan sebelum memulai suatu bisnis.  Bank sentral dapat menggunakan profit sharing ratio sebagai instrumen moneter, dimana ketika bank sentral ingin meningkatkan jumlah uang beredar, maka ratio keuntungan untuk nasabah akan ditingkatkan.
6.      Islamic Sukuk
Adalah obligasi pemerintah, di mana ketika terjadi inflasi, pemerintah akan mengeluarkan sukuk lebih banyak sehingga uang akan mengalir ke bank sentral dan jumlah uang beredar akan tereduksi.  Jadi sukuk memiliki kapasitas untuk menaikkan atau menurunkan jumlah uang beredar.
7.      Government Instrument Certificate
Penjualan atau pembelian sertifikat bank sentral dalam kerangka komersial, disebut sebagai Treasury Bills. Instrumen ini dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan dijual oleh bank sentral kepada broker dalam jumlah besar, dalam jangka pendek dan berbunga meskipun kecil. Treasury Bills ini tidak bisa di terima dalam Islam, maka sebagai penggantinya diterbitkan pemerintah dengan sistem bebas bunga, sebagai penggantinya adalah Government Instrument Certificate. Ketika bank sentral ingin menurunkan jumlah uang beredar maka sertifikat tersebut akan dijual ke bank komersial, begitupun sebaliknya.
Namun selain intrumen diatas dalam perekonomian Islam, ada dua istrumen besar yang dapat diterapkan, yaitu:
a.       Kontrol kuantitatif penyaluran kredit
Dalam ekonomi Islam, instrumen discount rate dan pasar terbuka tidak dapat diterapkan. Pada bank syari’ah terdapat sistem mudarabah yang merupakan penyertaan dari penabung pada bank tersebut.
b.      Merealisasikan tujuan sosio-ekonomi
Bank sentral dalam ekonomi Islam berpartisipasi dalam pembiayaan usaha-usaha produktif yang tidak menyalahi nilai-nilai Islam melalui skim penjaminan. Dalam skim penjaminan, perusahaan diteliti kemampuan berusahanya dan manajemennya. Bila dirasakan kurang namun memiliki prospek yang baik, maka dibantu dengan program-program pelatihan sehingga perusahaan dapat memanfaatkan dan mengelola dananya dengan baik. Seandainya dalam pemanfaatan tersebut perusahaan mengalami kegagalan, maka pengelola skim penjaminan harus meneliti sebab-sebab kegagalan. Bila kegagalan disebabkan oleh penyimpangan moral dalam bisnis (moral hazard) dari perusahaan, maka bank yang membiayai perusahaan itu akan memperoleh kembali dananya. Namun apabila kegagalan disebabkan karena keadaan ekonomi yang memburuk, maka bank harus ikut menanggung risiko bisnis tersebut berdasarkan bagi hasil dan rugi yang disepakati.

      Selain dari instrumen-instrumen yang telah dijelaskan dalam ekonomi syariah, berikut ini ada 3 mazhab terkait kebijakan moneter syariah yang membedakannya dengan kebijakan moneter konvensional.
1.      Mazhab pertama (iqtishaduna)
            Menurut mazhab ini, instrumen yang digunakan adalah berhubungan dengan konsumsi, tabungan dan investasi, serta perdagangan yang mana keempatnya merupakan instrumen yang otomatis ada dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Pada satu sisi, sistem ini menjamin keseimbangan uang dan barang/jasa. Sementara, di sisi lain, sistem ini mencegah penggunaan tabungan untuk tujuan selain menciptakan kesejahteraan yang lebih nyata bagi masyarakat.
2.      Mazhab kedua (mainsteam)
            Tujuan dari kebijakan moneter yang dilakukan oleh pemerintah adalah untuk memaksimalkan sumber daya untuk kegiatan perekonomian yang produktif. Sementara itu, dalam prinsip syariah, dilarang adanya praktik penumpukan uang (money hoarding) karena membuat uang menjadi tidak memberikan manfaat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kekayaan yang menumpuk tersebut justru membuat sumber dana yang awalnya produktif menjadi tidak produktif. Oleh karena itu, mazhab ini merancang sebuah instrumen kebijakan yang ditujukan untuk mempengaruhi kecilnya permintaan uang agar dapat dialokasikan pada peningkatan produktifitas dan perekonomian secara keseluruhan.
3.      Mazhab ketiga (alternative)
            Pada mazhab ketiga ini, sistem kebijakan moneter yang dianjurkan adalah berdasarkan musyawarah yang sebelumnya dilakukan dengan otoritas sektor riil. Jadi, keputusan-keputusan kebijakan moneter yang kemudian dituangkan dalam bentuk instrumen moneter biasanya adalah harmonisasi yang dilakukan dengan kebijakan yang ada di sektor riil.
      Bank sentral, sebagai pelaku dari kebijakan moneter, dapat berbentuk single banking system (bank syariah saja)  maupun dalam bentuk dual banking system (bank umum dan syariah).  Saat ini, sudah ada beberapa bank sentral, termasuk salah satunya adalah Bank Indonesia, yang telah menciptakan dan menggunakan instrumen pengendalian moneter maupun surat berharga dengan underlying pada transaksi syariah. Dan pada gilirannya, bank sentral tersebut dapat menggunakan instrumen-instrumen syariah yang ada, dengan berpatokan pada salah satu atau lebih dari ketiga mazhab untuk mencapai tujuan akhir dari kebijakan moneter yaitu stabilitas harga, kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan keseimbangan neraca pembayaran secara khusus serta kesejahteraan masyarakat secara umum.
Dalam kaitannya dengan mekanisme transmisi kebijakan moneter, bank syariah juga memegang peranan penting. Penelitian mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter Islam melalui jalur pembiayaan bank syariah sudah dilakukan di beberapa negara, antara lain Indonesia,dan Malaysia. Untuk kasus di Indonesia, penelitian mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur pembiayaan bank syariah telah dilakukan oleh Ascarya (2010b). Dalam penelitian tersebut terdapat dua model yang digunakan yaitu model output (IPI) dan inflasi (CPI) yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
IPI = f (IFIN, IDEP, PUAS, SBIS) CPI = f (IFIN, IDEP, PUAS, SBIS) IPI (Industrial Production Index) merupakan proxy dari pertumbuhan ekonomi atau output.
CPI (Counsumer Price Index) merupakan proxy dari inflasi. IFIN (Islamic Finance) sebagai pembiayaan bank syariah, IDEP (Islamic Deposits) adalah dana pihak ketiga atau DPK perbankan syariah. PUAS yaitu rate imbal hasil satu hari di pasar uang antarbank syariah dan SBIS yaitu imbal hasil Sertifikat Bank Indonesia Syariah sebagai indikator kebijakan moneter.
Dengan menggunakan Uji Kausalitas Granger dan VAR, alur transmisi kebijakan moneter melalui jalur pembiayaan perbankan syariah hingga akhirnya dapat mempengaruhi output dan inflasi dapat digambarkan seperti pada Gambar di bawah ini:
Untitled.png
C.    Tujuan Kebijakan Moneter dalam Sudut Pandang Islam
Sebagai contoh pada tahun 1984 dan setelah pengenalan Hukum Syari’ah di Sudan, Bank Sentral Sudan mengeluarkan aturan bagi semua bank yang beroperasi di Sudan mengikuti prinsip Islam dalam aktivitasnya dan dianjurkan supaya tidak menerima deposito yang berbasis bunga atau mengeluarkan kredit dengan unsur riba. Kebijakan moneter di Sudan merupakan masalah yang berkaitan dengan tujuan kebijakan makroekonomi yang mencakup upaya peningkatan tingkat pertumbuhan GDP dan stabilitas moneter melalui penurunan tingkat inflasi. Muhammad (2002: 170) menjelaskan tujuan kebijakan moneter secara umum yaitu:
1.      Membantu mencapai tujuan strategi komprehensif negara
2.      Mencapai keseluruhan tujuan ekonomi, yaitu:
a.)    Mengembangkan sektor ekonomi yang diprioritaskan
b.)    Mengurangi inflasi
c.)    Berusaha mencapai distribusi pendapatan dan kesejahteraan yang wajar
d.)   Melanjutkan Islamisasi sistem perbankan dan meningkatkan image bank Islam sebagai bank yang komprehensif dan memberikan layanan penuh
e.)    Menjamin bahwa kredit yang tidak sehat akan diselesaikan oleh bank sesuai dengan aturan perbankan yang berlaku
f.)     Mendorong tegaknya dan pengembangan portofolio kredit
Dalam sudut pandang Islam, sektor moneter berperan sebagai penyokong sektor riil. Uang dan perbankan sebagai bagian dari sistem moneter haruslah digunakan untuk mencapai tujuan tujuan utama sosio ekonomi Islam (Chapra:1997). Adapun tujuan-tujuan tersebut antara lain:
1) Kesejahteraan ekonomi yang luas berlandaskan full employment dan tingkat pertumbuhan optimum. Pertumbuhan ekonomi dalam sudut pandang Islam menetapkan bahwa :
a.       Pertumbuhan ekonomi tidak boleh dicapai melalui produksi barang dan jasa yang tidak penting atau secara moral dipertanyakan
b.      Tidak boleh memperlebar jurang perbedaan antara yang miskin dan kaya dengan jalan mendorong konsumsi yang tidak habis
c.       Tidak boleh membahayakan generasi sekarang ataupun generasi mendatang dengan mendegradasikan moral mereka ataupun lingkungan fisik.
2) Keadilan sosio-ekonomi dan pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteraan, salah satunya melalui mekanisme zakat.
3) Stabilitas dalam nilai uang sehingga memungkinkan medium of exchange dapat dipergunakan sebagai satuan perhitungan, patokan yang adil dalam penangguhan pembayaran, dan nilai tukar yang stabil.
4) Mobilisasi dan investasi tabungan bagi pembangunan ekonomi dengan suatu cara yang menjamin pengembalian yang adil bagi semua pihak yang terlibat.
5) Mewujudkan jasa-jasa lain.
Mobilisasi tabungan dan investasi tidak hanya diperlukan bagi hal-hal yang sifatnya produktif saja, melainkan pula untuk mengembangkan pasar uang primer dan sekunder, mewujudkan jasa perbankan lain, dan memenuhi kebutuhan akan keuangan non-inflationary bagi pemerintah.
D.    Kebijakan Moneter dalam Kajian Ekonomi Islam
Sebelum dimulainya masa Islam, sistem moneter beserta kebijakannya sudah dimiliki oleh bangsa Quraisy walaupun masih dalam bentuk yang sederhana. Seiring berjalannya waktu dan ketika Khalifah Umar Radhiyallahu Anhu memerintah Islam pada 634 – 644 M terdapat beberapa perubahan yang dilakukan pada saat itu.
Beberapa kebijakan yang ditetapkan oleh Khalifah Umar Radhiyallahu Anhu dalam mengatur sektor moneter antara lain:
1. Islam melarang segala sesuatu yang akan berdampak pada bertambahnya gejolak dalam daya beli, dan ketidakstabilan nilai uang, misalnya:
a. Pengharaman perdagangan uang, yaitu dengan pengharaman riba.
b. Pengharaman penimbunan.
c. Pengawasan ketat terhadap inflasi serta penyelesaian dampak-dampak inflasi.
2.  Larangan bermuamalah dengan uang palsu.
3. Melindungi inflasi dengan menghimbau masyarakat untuk menginvestasikan uang, sederhana dalam belanja, serta melarang berlebih-lebihan dan menghambur-hamburkan uang.
4. Penyatuan moneter melalui pencetakan dirham yang sesuai dengan ketentuan Islam, yaitu sebesar enam daniq.
a.      Sistem Moneter dalam Ekonomi Islam
Aktivitas moneter memainkan peranan penting dalam perekonomian. Peran penting dari aktivitas ini dapat dilihat dari ketatnya upaya pengendalian dan penstabilan ekonomi terhadap tingginya volume dan cepatnya perputaran kapital pada industri jasa keuangan. Tingkat bunga menjadi hal yang wajar dalam sistem ekonomi kapitalis. Pada perkembangannya, sistem ekonomi kapitalis menyebabkan kesenjangan sosial masyarakat. Negara-negara miskin dan berkembang kerap dieksploitasi oleh negara-negara maju, terutama dari segi sumber daya alamnya yang berakibat pada semakin bertambahnya kemiskinan, kebangkrutan, dan kerusakan lingkungan di negara-negara miskin dan berkembang. sistem kapitalis pun dianggap gagal menjamin kemaslahatan dunia (Pratikto, H., 2012: 192).
Berkembangnya ekonomi Islam sebagai alternatif baru dari sistem ekonomi kapitalisme. Ekonomi Islam diharapkan dapat memberikan solusi terkait yang lebih efektif dibanding aktifitas dan pengelolaan moneter berdasarkan sistem kapitalisme yang berdimensi riba yang memberi keuntungan dengan cara yang paling mudah dan paling cepat. Cara yang paling mendasar dalam menghapus riba pada aktifitas moneter adalah dengan mengkaitkan kembali sektor moneter dengan sektor riil. Cara yang paling dimungkinkan dalam skala global adalah dengan mengembangkan aktifitas perdagangan internasional secara syariah karena dalam aktifitas itulah sektor moneter dan sektor riil berskala global dapat disatukan sekaligus menghilangkan praktik riba dan sejenisnya.
Dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus stabilitas, Islam tidak menggunakan instrumen bunga atau ekspansi moneter melalui pencetakan uang baru atau defisit anggaran. Yang dilakukan adalah mempercepat perputaran uang dan pembangunan infrastruktur sektor riil. Kebijakan moneter Rasulullah selalu terkait dengan sektor riil perekonomian. Hasilnya adalah pertumbuhan sekaligus stabilitas. Syekh Abdul Qadim Zallum (dalam buku Pratikto, H., 2012: 193) mengatakan bahwa sistem moneter atau keuangan adalah sekumpulan kaidah pengadaan dan pengaturan keuangan dalam suatu negara. yang paling penting dalam setiap keuangan adalah penentuan satuan dasar keuangan dimana dinisbahkan seluruh nilai-nilai berbagai mata uang.
Pada zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, kebijakan moneter dilaksanakan tanpa menggunakan instrumen bunga sama sekali. Dalam perekonomian kapitalis, tingkat bunga seringkali berfluktuasi. Penghapusan bunga dan kewajiban membayar zakat sebesar 2,5% setahun tidak hanya dapat meminimalisasikan permintaan spekulatif akan uang maupun penyimpanan uang yang diakibatkan oleh tingkat bunga, melainkan juga memberikan stabilitas yang lebih tinggi terhadap permintaan uang. Bank Islam harus mengarahkan kebijakan moneternya untuk mendorong pertumbuhan dalam penawaran uang yang cukup untuk membiayai pertumbuhan potensial dalam output jangka menengah dan jangka panjang demi mencapai harga yang stabil dan tujuan sosial Islam.
Perekonomian Arab di zaman Rasulullah SAW bukanlah ekonomi barter, bahkan jauh dari itu. Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab, bahkan menjadi alat pembayaran resmi. Untuk menjaga stabilitas ekonomi, beberapa hal berikut ini dilarang, yaitu:
a.       Permi
b.      ntaan yang tidak riil. Permintaan uang hanyalah untuk keperluann transaksi dan berjaga-jaga.
c.       Penimbunan mata uang.
d.      Transaksi talaqqi rukban, yaitu mencegat penjual dari kampung di luar kota untuk mendapat keuntungan dari ketidakpastian harga.
e.       Transaksi kali bi kali, yaitu bukan transaksi tidak tunai. Transaksi tunai dibolehkan namun transaksi future tanpa ada barang dilarang.
f.       Segala bentuk riba.
Islam tidak mengenal inflasi karena mata uang yang digunakan adalah dinar dan dirham yang mempunyai nilai stabil dan dibenarkan dalam Islam. Adhiwarman Karim (dalam buku Pratikno, H., 2012: 196) mengatakan bahwa Syeikh Taqyuddin An-Nabhani memberikan beberapa alasan mengapa mata uang yang sesuai adalah emas, yaitu:
a.       Ketika Islam melarang praktik penimbunan harta, Islam hanya mengkhususkan larangan tersebut untuk emas dan perak, padahal harta itu mencakup semua barang yang bisa dijadikan sebagai kekayaan.
b.      Islam telah mengaitkan emas dan perak dengan hukum yang baku dan tidak berubah-ubah. Ketika Islam mewajibkan diyat maka yang dijadikan sebagai ukurannya adalah dalam bentuk emas.
c.       Rasulullah telah menetapkan emas dan perak sebagai mata uang dan beliau menjadikan hanya emas dan perak sebagai standar uang.
d.      Hukum-hukum tentang pertukaran mata uang yang terjadi dalam transaksi uang hanya dilakukan dengan emas dan perak, begitupun dengan transaksi lainnya hanya dinyatakan dengan emas dan perak.
b.      Manajemen Moneter Islam
Pada masa kedinastian Islam, mata uang yang berlaku adalah emas dan perak. Rasio peredaran dinar dibandingkan dirham sebesar 1:10 hanya berlaku sampai pada masa keempat khalifah. Setelah periode keempat khalifah, rasio ini terus berubah di berbagai negara-negara Islam mulai dari 1:35 hingga mencapai 1:50. Ketidakstabilan rasio ini mengindikasikan bahwa orang lebih senang menyimpan dalam mata uang dinar dan menggunakan dirham sebagai alat transaksi sehingga peredaran dinar semakin kecil. Akhirnya, semakin lama standar dua metal tersebut tidak dipakai lagi secara universal karena fluktuasinya. Selanjutnya dimulailah masa metal tunggal dengan emas sebagai standar mata uang yang berlaku secara universal. Gold currency standart dikenal dengan tiga variasi, yaitu :
a.       Gold coin standard merupakan sistem moneter di mana gold coin aktif beredar di masyarakat sebagai standar alat tukar.
b.      Gold bulion standard merupakan standar moneter dengan keterntuan-ketentuan sebagai berikut:
-          Mata uang nasional disetarakan dengan emas
-          Emas disimpan oleh pemerintah dalam bentuk bar atau batangan
-          Emas tidak beredar dalam perekonomian
-          Emas tersedia untuk tujuan industri dan transaksi-transaksi internasional dari bank
c.       Gold exchange standart atau dikenal sebagai Bretton Woods System, yaitu merupakan kesepakatan internasioanal di bidang moneter di mana mata uang merupakan fiat money yang dapat dikonversikan ke dalam emas dengan tingkat harga tertentu.
Dalam manajemen moneter Islam, untuk mencapai kestabilan perekonomian maka ada beberapa hal pokok yang mendasar, antara lain:
a.       Uang untuk investasi produktif
Manajemen moneter berdasarkan suku bunga berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan pokok dan pemerataan distribusi pendapatan. Golongan kaya umumnya memanfaatkan dana tidak hanya untuk kepentingan investasi yang produktif melainkan juga untuk konsumsi barang-barang mewah sebagai simbol status sosial dan juga untuk spekulasi. Tentunya kegiatan ekonomi konvensional tersebut tidak terlepas dari suku bunga yang cenderung memperkecil permintaan uang untuk kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan pokok dan investasi yang produktif dan memperbesar permintaan uang untuk kegiatan non-produktif dan spekulatif yang pada akhirnya berakibat pada kegagalan pencapaian tujuan pembangunan ekonomi negara. Dalam Islam, permintaan uang harus diarahkan pada upaya untuk investasi produktif dan mengembalikan motif permintaan uang pada fungsi yang sebenarnya. 
b.      Permintaan uang
Manajemen moneter Islami (syari’ah) adalah manajemen moneter yang efisien dan adil tidak berdasarkan pada mekanisme suku bunga, melainkan menggunakan tiga instrumen utama yaitu:
-          Value judgements yang dapat menciptakan suasana yang memungkinkan alokasi dan distribusi sumber yang sesuai dengan ajaran Islam. Berdasarkan nilai-nilai Islam, permintaan uang harus dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan investasi yang produktif, sama sekali bukan untuk konsumsi yang berlebihan, pengeluaran-pengeluaran non produktif, dan spekulatif.
-          Kelembagaan yang  berkaitan dengan kegiatan sosial ekonomi dan politik yang salah satunya adalah dapat menciptakan mekanisme harga dan meningkatkan efisiensi dalam pemanfaatan sumber.
-          Mekanisme lembaga perantara keuangan yang beroperasi berdasarkan sistem bagi hasil. Dalam sistem ini permintaan uang untuk pemanfaatan uang dialokasikan dengan syarat hanya untuk proyek-proyek yang bermanfaat dan hanya kepada debitur yang mampu mengelola proyek secara efisien.
c.       Operasi Pasar Terbuka (OPT)
Metode ini berkenaan dengan pembelian dan penjualan sekuritas pemerintah dan obligasi di pasar uang.  Dalam hal ini OPT memperkenalkan dua instrumen OPT yang sesuai dengan syari’ah yaitu CMC (The Central Bank Musharaka Certificate) dan GMC (Government Musharaka Certificate).
a.       CMC (The Central Bank Musharaka Certificate)
Merupakan sekuritas yang berdasarkan sistem bagi hasil dengan karakteristik sebagai berikut :
1.      Tidak mempunyai tanggal jatuh tempo
2.      Berbasis ekuitas dalam jumlah tertentu dari investasi bisnis dan pemerintah di bank-bank komersial
3.      Mempunyai nilai nominal uniform  yang sebanding dengan nilai akuntansi dari total jumlah investasi dibagi jumlah CMC yang diterbitkan
4.      Dapat diperdagangkan oleh pemilik di pasar sekunder melalui prosedur administrasi standar, sedangkan pada pasar primer penjual adalah melalui pelelangan
b.      GMC (Government Musharaka Certificate)
Merupakan instrumen yang memungkinkan pemerintah untuk melakukan pengumpulan dana melalui penerbitan sekuritas yang menjanjikan pada investor suatu pengembalian yang dinegosiasikan sebelumnya atas dasar investasi mereka pada kumpulan aset pemerintah yang berbentuk kepemilikan pada perusahaan-perusahaan publik atau patungan yang menguntungkan dalam operasinya. Secara garis besar kegunaan GMC adalah :
1.      Untuk pembiayaan anggaran
2.      Instrumen OPT bagi pelaku bisnis
3.      Mobilisasi tabungan nasional
4.      Mendorong investasi
5.      Sebagai alat pengembangan pasar uang yang sesuai dengan syari’ah Islam
Merupakan sekuritas yang dimaksudkan untuk memobilisasi simpanan jangka panjang yang digunakan untuk pembangunan proyek infrastruktur jangka panjang yang dilakukan melalui sekuritas aset pemerintah berwujud seperti jalan raya, pabrik, sekolah, dan lainnya. Sukuk ini adalah instrumen finansial yang merepresentasikan tiga perjanjian dasar, yaitu:
1.      Perjanjian pembelian aset
2.      Perjanjian sewa menyewa
3.      Perjanjian penjualan aset































BAB III
KESIMPULAN

A.    kebijakan moneter ini adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang beredar. dalam kebijakan moneter syariah tidak dikenal sistem bunga, maka bank sentral tidak dapat menerapkan kebijakan discount rate. Dengan menghapuskan sistem bunga ini tidak menjadi penghambat dalam mengontrol jumlah uang beredar dalam perekonomian
B.     terdapat beberapa instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam,  antara lain; Reserve Ratio, Moral Persuassion, Lending Ratio, Refinance Ratio, Profit Sharing Ratio, Islamic Sukuk, Government Instrument Certificate.
dua istrumen besar yang dapat diterapkan, yaitu:  Kontrol kuantitatif penyaluran kredi   dan Merealisasikan tujuan sosio-ekonomi
C.     Dalam sudut pandang Islam, sektor moneter berperan sebagai penyokong sektor riil. Uang dan perbankan sebagai bagian dari sistem moneter haruslah digunakan untuk mencapai tujuan tujuan utama sosio ekonomi Islam
D.    Dalam manajemen moneter Islam, untuk mencapai kestabilan perekonomian maka ada beberapa hal pokok yang mendasar, adalah Uang untuk investasi produktif dan Permintaan uang










DAFTAR RUJUKAN


Aini, RN. 2014. Kebijakan Moneter Syariah. Academia.Edu,(online), (https://www.academia.edu/8038591/Kebijakan_Moneter_Syariah), diakses 16 januari 2015

Idris, M. 2014. Uang dan kebijakan moneter dalam islam. (online). (http://www.slideshare.net/khusnulkh9/savedfiles?s_title=makalah-uang-kebijakan-moneter-dalam-ekonomi-islam&user_login=idrisrahmatan). Diakses pada 16 januari 2015

Muhammad. 2002. Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islami. Jakarta: Salemba Empat

 

Ningsih, K. 2013. Jalur Pembiayaan Bank Syariah Dalam Mekaisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia. Junal ilmiah mahasiswa UB, (online), (http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/view/701/643), diakses 16 januari 2015

Pratikto, Heri. 2012. Bahan ajar Ekonomi syariah. Malang: Universitas Negeri Malang

Purnama, B. 2013. kebijakan Moneter dalam ekonomi islam. (online). (http://makalahkite.blogspot.com/2013/11/kebijakan-moneter-dalam-ekonomi-islam.html ) diakses pada 16 Januari 2015

Tanpa nama. 2014. Instrumen Kebijakan Moneter dalam Ekonomi Islam, (online). (http://www.islamcendekia.com/2014/02/instrumen-kebijakan-moneter-dalam-ekonomi-islam.html) diakses 16 januari 2015

 

Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian. Edisi Kelima. Malang: Universitas Negeri Malang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar