BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Perekonomian
suatu negara erat kaitannya, salah satunya, dengan kebijakan moneter. Kebijakan moneter yang umum, dilakukan dengan
menggunakan instrumen suku bunga. Namun, pada kenyataanya, suku bunga
ini sangat terpengaruh dengan gejolak perekonomian. Sehingga, terkadang, suku
bunga ini malah menjadi salah satu pencetus adanya krisis ekonomi yang terjadi
di suatu negara. Oleh karena itu, kebijakan moneter syariah merupakan salah
satu jawaban dari permasalahan tersebut. Dalam kebijakan moneter syariah, tidak
dikenal adanya sistem bunga. Instrumen-instrumen yang digunakan dalam kebijakan moneter syariah juga berbeda dengan kebijakan
moneter pada umumnya karena tidak dikenalnya sistem bunga tersebut.
Namun, justru dengan tidak dikenalnya sistem bunga tersebut, menjadikan
kebijakan moneter syariah lebih tahan terhadap gejolak perekonomian sehingga
pada akhirnya tujuan akhir dari kebijakan moneter dapat tercapai.
Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Islam tentu pantas juga bagi
Indonesia jika menyandarkan ekonominya
dengan basis syariah. Hal ini sejalan dengan pencanangan Gerakan Ekonomi
Syariah (GRES!) yang dilakukan oleh Presiden dengan harapan agar mampu mendorong
misi Indonesia untuk menjadi pusat perekonomian syariah dunia.
Sistem
ekonomi syariah dianggap perlu diperkuat di Indonesia pasalnya sistem ini
terbukti mampu bertahan saat perekonomian dunia mengalami gejolak. Sistem
ekonomi ini mampu bertahan karena nilai-nilai yang ada di dalamnya telah menghindarkannya dari spekulasi.
Dalam kerangka kebijakan makroekonomi, sistem ekonomi syariah ini menyentuh
baik terhadap kebijakan fiskal, kebijakan moneter, maupun kebijakan sektor
riil. Namun, utamanya sistem ini berkaitan erat dengan kebijakan moneter. Hal ini disebabkan karena kebijakan moneter
utamanya digunakan untuk mempengaruhi variabel keuangan seperti suku bunga dan penawaran uang. Dengan mengatur kedua
variabel keuangan ini, diharapkan kestabilan nilai uang akan tercapai
sehingga pada akhirnya stabilitas ekonomi
akan tercapai juga. Namun, pada kenyataannya, suku bunga merupakan sumber permasalahan
ketidakstabilan perekonomian. Hal ini
disebabkan suku bunga merupakan instrumen yang menjadikan ketidakseimbangan
sektor riil dan moneter. Oleh karena itu,
dengan adanya kebijakan moneter syariah yang tidak mengenal suku bunga
sebagai instrumennya akan mampu menjadi
alat yang baru bagi Indonesia dalam menjaga stabilitas perkenomiannya.
B. Rumusan
Masalah
a.
Apa pengertian kebijakan moneter ekonomi islam?
b.
Apa intrumen kebijakan moneter dalam ekonomi islam?
c.
Apa tujuan Kebijkan moneter dalam ekonomi islam?
d.
Bagaimana Kebijakan Moneter dalam ekonomi islam?
Teknis
penulisan makalah ini berpedoman pada buku pedoman penulisan karya ilmiah
Universitas Negeri Malang (UM, 2010).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter merupakan salah
satu kebijakan makroekonomi yang digunakan oleh bank sentral untuk mencapai
tujuan akhir berupa stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan
keseimbangan neraca pembayaran. Namun, Indonesia sendiri dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
menganut kebijakan moneter dengan tujuan tunggal yaitu stabilitas nilai rupiah.
Adapun kebijakan
moneter ini adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian
melalui pengaturan jumlah uang beredar.
Jumlah uang yang beredar, dalam analisis ekonomi makro, berpengaruh penting
terhadap tingkat output perekonomian, juga terhadap stabilitas harga. Jumlah uang beredar ini, dalam kebijakan
moneter konvensional, diatur dengan instrumen suku bunga yang dikontrol oleh
bank sentral. Dalam praktiknya, Bank Indonesia sebagai bank sentral,
mengeluarkan kebijakan untuk mengatur tingkat suku bunga demi mempertahankan
stabilitas nilai rupiah. Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat
diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi
dua, yaitu:
o
Kebijakan moneter ekspansif
(Monetary expansive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka
menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan untuk mengatasi
pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat (permintaan masyarakat) pada
saat perekonomian mengalami resesi atau depresi. Kebijakan ini disebut juga
kebijakan moneter longgar (easy money policy)
o
Kebijakan Moneter Kontraktif
(Monetary contractive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka
mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat
perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight
money policy).
Namun, pada kenyataannya, kebijakan
moneter ini tidak selalu tahan dengan gejolak perekonomian. Hal ini bisa
dilihat pada krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dan tahun 2008. Krisis
yang terjadi tersebut salah satunya disebabkan karena tidak seimbangnya
instrumen kebijakan moneter.
Salah satu cara yang bisa digunakan untuk
menghadapi hal-hal di atas adalah dengan menggunakan kebijakan moneter syariah.
Dalam kebijakan moneter syariah, tidak dikenal adanya instrumen suku bunga
sehingga menjamin kestabilan perekonomian. Hal ini dikarenakan suku bunga
merupakan instrumen yang menyebabkan ketidakseimbangan sektor riil dan
moneter. Dalam sistem ekonomi syariah
yang dikenal bukanlah sistem suku bunga melainkan sistem pembagian keuntungan
dan kerugian (profit and loss sharing).
Besar kecilnya pembagian keuntungan tergantung pada kegiatan investasi dan
pembiayaan yang dilakukan di sektor riil. Hasil dari investasi dan pembiayaan
yang dilakukan bank di sektor riil yang menentukan besar kecilnya pembagian
keuntungan di sektor moneter. Ini berarti sektor moneter bergantung pada sektor
riil.
Oleh karena dalam kebijakan moneter
syariah tidak dikenal sistem bunga, maka bank sentral tidak dapat menerapkan
kebijakan discount rate. Dengan
menghapuskan sistem bunga ini tidak menjadi penghambat dalam mengontrol jumlah
uang beredar dalam perekonomian.
B.
Instrumen Kebijakan Moneter
dalam Ekonomi Islam
Instrumen moneter syariah adalah hukum syariah. Hampir semua
instrumen moneter pelaksanaan kebijakan moneter konvensional maupun surat
berharga yang menjadi underlying-nya mengandung unsur bunga. Oleh karena itu
instrumen-instrumen konvensional yang mengandung unsur bunga (bank rates,
discount rate, open market operation dengan sekuritas bunga yang ditetapkan
didepan) tidak dapat digunakan pada pelaksanaan kebijakan moneter berbasis
Islam.
Tetapi
sejumlah instrument kebijakan moneter konvensional menurut sejumlah pakar
ekonomi Islam masih dapat digunakan untuk mengontrol uang dan kredit, seperti
Reserve Requirement, overall and selecting credit ceiling, moral suasion and
change in monetary base.
Dalam
ekonomi Islam, tidak ada sistem bunga sehingga bank sentral tidak dapat
menerapkan kebijakan discount rate tersebut. Bank Sentral Islam memerlukan
instrumen yang bebas bunga untuk mengontrol kebijakan ekonomi moneter dalam
ekonomi Islam. Dalam hal ini, terdapat beberapa instrumen bebas bunga yang
dapat digunakan oleh bank sentral untuk meningkatkan atau menurunkan uang
beredar. Penghapusan sistem bunga, tidak menghambat untuk mengontrol jumlah
uang beredar dalam ekonomi.
Secara
mendasar, terdapat beberapa instrumen
kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, antara lain:
1. Reserve
Ratio
Adalah suatu
presentase tertentu dari simpanan bank yang harus dipegang oleh bank sentral,
misalnya 5 %. Jika bank sentral ingin mengontrol jumlah uang beredar, dapat
menaikkan Reserve Ratio misalnya dari 5 persen menjadi 20 % yang dampaknya sisa
uang yang ada pada komersial bank menjadi lebih sedikit, begitu sebaliknya.
2. Moral
Persuassion
Bank sentral
dapat membujuk bank-bank untuk meningkatkan permintaan kredit sebagai tanggung
jawab mereka ketika ekonomi berada dalam keadaan depresi. Dampaknya, kredit
dikucurkan maka uang dapat dipompa ke dalam ekonomi.
3. Lending
Ratio
Dalam
ekonomi Islam, tidak ada istilah Lending (meminjamkan), lending ratio dalam hal
ini berarti Qardhul Hasan (pinjaman kebaikan).
4. Refinance
Ratio
Adalah
sejumlah proporsi dari pinjaman bebas bunga. Ketika refinance ratio
meningkat, pembiayaan yang diberikan meningkat, dan ketika refinance ratio
turun, bank komersial harus hati-hati karena mereka tidak di dorong untuk
memberikan pinjaman.
5. Profit
Sharing Ratio
Ratio bagi
keuntungan (profit sharing ratio) harus ditentukan sebelum memulai suatu
bisnis. Bank sentral dapat menggunakan profit sharing ratio sebagai
instrumen moneter, dimana ketika bank sentral ingin meningkatkan jumlah uang
beredar, maka ratio keuntungan untuk nasabah akan ditingkatkan.
6. Islamic
Sukuk
Adalah
obligasi pemerintah, di mana ketika terjadi inflasi, pemerintah akan mengeluarkan
sukuk lebih banyak sehingga uang akan mengalir ke bank sentral dan jumlah uang
beredar akan tereduksi. Jadi sukuk memiliki kapasitas untuk menaikkan
atau menurunkan jumlah uang beredar.
7.
Government
Instrument Certificate
Penjualan
atau pembelian sertifikat bank sentral dalam kerangka komersial, disebut
sebagai Treasury Bills. Instrumen ini dikeluarkan oleh Menteri Keuangan
dan dijual oleh bank sentral kepada broker dalam jumlah besar, dalam jangka
pendek dan berbunga meskipun kecil. Treasury Bills ini tidak bisa di terima
dalam Islam, maka sebagai penggantinya diterbitkan pemerintah dengan sistem
bebas bunga, sebagai penggantinya adalah Government Instrument Certificate. Ketika bank sentral ingin
menurunkan jumlah uang beredar maka sertifikat tersebut akan dijual ke bank
komersial, begitupun sebaliknya.
Namun selain intrumen diatas dalam
perekonomian Islam, ada dua istrumen besar yang dapat diterapkan, yaitu:
a.
Kontrol
kuantitatif penyaluran kredit
Dalam
ekonomi Islam, instrumen discount rate dan
pasar terbuka tidak dapat diterapkan. Pada bank syari’ah terdapat sistem
mudarabah yang merupakan penyertaan dari penabung pada bank tersebut.
b.
Merealisasikan
tujuan sosio-ekonomi
Bank sentral dalam ekonomi Islam berpartisipasi dalam pembiayaan usaha-usaha
produktif yang tidak menyalahi nilai-nilai Islam melalui skim penjaminan. Dalam
skim penjaminan, perusahaan diteliti kemampuan berusahanya dan manajemennya.
Bila dirasakan kurang namun memiliki prospek yang baik, maka dibantu dengan
program-program pelatihan sehingga perusahaan dapat memanfaatkan dan mengelola
dananya dengan baik. Seandainya dalam pemanfaatan tersebut perusahaan mengalami
kegagalan, maka pengelola skim penjaminan harus meneliti sebab-sebab kegagalan.
Bila kegagalan disebabkan oleh penyimpangan moral dalam bisnis (moral hazard) dari perusahaan, maka bank
yang membiayai perusahaan itu akan memperoleh kembali dananya. Namun apabila
kegagalan disebabkan karena keadaan ekonomi yang memburuk, maka bank harus ikut
menanggung risiko bisnis tersebut berdasarkan bagi hasil dan rugi yang
disepakati.
Selain dari instrumen-instrumen yang telah
dijelaskan dalam ekonomi syariah, berikut ini ada 3 mazhab terkait kebijakan
moneter syariah yang membedakannya dengan kebijakan moneter konvensional.
1.
Mazhab pertama (iqtishaduna)
Menurut
mazhab ini, instrumen yang digunakan adalah berhubungan dengan konsumsi,
tabungan dan investasi, serta perdagangan yang mana keempatnya merupakan
instrumen yang otomatis ada dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Pada satu
sisi, sistem ini menjamin keseimbangan uang dan barang/jasa. Sementara, di sisi
lain, sistem ini mencegah penggunaan tabungan untuk tujuan selain menciptakan
kesejahteraan yang lebih nyata bagi masyarakat.
2.
Mazhab kedua (mainsteam)
Tujuan
dari kebijakan moneter yang dilakukan oleh pemerintah adalah untuk
memaksimalkan sumber daya untuk kegiatan perekonomian yang produktif. Sementara
itu, dalam prinsip syariah, dilarang adanya praktik penumpukan uang (money hoarding) karena membuat uang
menjadi tidak memberikan manfaat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kekayaan yang menumpuk tersebut justru membuat sumber dana yang awalnya
produktif menjadi tidak produktif. Oleh karena itu, mazhab ini merancang sebuah
instrumen kebijakan yang ditujukan untuk mempengaruhi kecilnya permintaan uang
agar dapat dialokasikan pada peningkatan produktifitas dan perekonomian secara
keseluruhan.
3.
Mazhab ketiga (alternative)
Pada
mazhab ketiga ini, sistem kebijakan moneter yang dianjurkan adalah berdasarkan
musyawarah yang sebelumnya dilakukan dengan otoritas sektor riil. Jadi,
keputusan-keputusan kebijakan moneter yang kemudian dituangkan dalam bentuk
instrumen moneter biasanya adalah harmonisasi yang dilakukan dengan kebijakan
yang ada di sektor riil.
Bank sentral, sebagai pelaku dari
kebijakan moneter, dapat berbentuk single
banking system (bank syariah saja)
maupun dalam bentuk dual banking
system (bank umum dan syariah). Saat
ini, sudah ada beberapa bank sentral, termasuk salah satunya adalah Bank
Indonesia, yang telah menciptakan dan menggunakan instrumen pengendalian
moneter maupun surat berharga dengan underlying
pada transaksi syariah. Dan pada gilirannya, bank sentral tersebut dapat
menggunakan instrumen-instrumen syariah yang ada, dengan berpatokan pada salah
satu atau lebih dari ketiga mazhab untuk mencapai tujuan akhir dari kebijakan
moneter yaitu stabilitas harga, kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan keseimbangan
neraca pembayaran secara khusus serta kesejahteraan masyarakat secara umum.
Dalam kaitannya dengan mekanisme transmisi kebijakan moneter,
bank syariah juga memegang peranan penting. Penelitian mengenai mekanisme
transmisi kebijakan moneter Islam melalui jalur pembiayaan bank syariah sudah
dilakukan di beberapa negara, antara lain Indonesia,dan Malaysia. Untuk kasus
di Indonesia, penelitian mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui
jalur pembiayaan bank syariah telah dilakukan oleh Ascarya (2010b). Dalam
penelitian tersebut terdapat dua model yang digunakan yaitu model output (IPI)
dan inflasi (CPI) yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
IPI
= f (IFIN, IDEP, PUAS, SBIS) CPI = f (IFIN, IDEP, PUAS, SBIS) IPI (Industrial
Production Index) merupakan proxy dari pertumbuhan ekonomi atau output.
CPI
(Counsumer Price Index) merupakan proxy dari inflasi. IFIN (Islamic
Finance) sebagai pembiayaan bank syariah, IDEP (Islamic Deposits)
adalah dana pihak ketiga atau DPK perbankan syariah. PUAS yaitu rate imbal
hasil satu hari di pasar uang antarbank syariah dan SBIS yaitu imbal hasil
Sertifikat Bank Indonesia Syariah sebagai indikator kebijakan moneter.
Dengan menggunakan Uji Kausalitas Granger dan VAR, alur
transmisi kebijakan moneter melalui jalur pembiayaan perbankan syariah hingga
akhirnya dapat mempengaruhi output dan inflasi dapat digambarkan seperti pada
Gambar di bawah ini:
C. Tujuan
Kebijakan Moneter dalam Sudut Pandang Islam
Sebagai contoh pada tahun 1984 dan setelah
pengenalan Hukum Syari’ah di Sudan, Bank Sentral Sudan mengeluarkan aturan bagi
semua bank yang beroperasi di Sudan mengikuti prinsip Islam dalam aktivitasnya
dan dianjurkan supaya tidak menerima deposito yang berbasis bunga atau
mengeluarkan kredit dengan unsur riba. Kebijakan moneter di Sudan merupakan
masalah yang berkaitan dengan tujuan kebijakan makroekonomi yang mencakup upaya
peningkatan tingkat pertumbuhan GDP dan stabilitas moneter melalui penurunan
tingkat inflasi. Muhammad (2002: 170) menjelaskan tujuan kebijakan moneter secara
umum yaitu:
1.
Membantu
mencapai tujuan strategi komprehensif negara
2.
Mencapai
keseluruhan tujuan ekonomi, yaitu:
a.)
Mengembangkan
sektor ekonomi yang diprioritaskan
b.)
Mengurangi
inflasi
c.)
Berusaha
mencapai distribusi pendapatan dan kesejahteraan yang wajar
d.)
Melanjutkan
Islamisasi sistem perbankan dan meningkatkan image bank Islam sebagai bank yang komprehensif dan memberikan
layanan penuh
e.)
Menjamin
bahwa kredit yang tidak sehat akan diselesaikan oleh bank sesuai dengan aturan
perbankan yang berlaku
f.)
Mendorong
tegaknya dan pengembangan portofolio kredit
Dalam sudut pandang Islam, sektor moneter berperan sebagai
penyokong sektor riil. Uang dan perbankan sebagai bagian dari sistem moneter
haruslah digunakan untuk mencapai tujuan tujuan utama sosio ekonomi Islam (Chapra:1997).
Adapun tujuan-tujuan tersebut antara lain:
1)
Kesejahteraan ekonomi yang luas berlandaskan full employment dan tingkat pertumbuhan optimum. Pertumbuhan
ekonomi dalam sudut pandang Islam menetapkan bahwa :
a. Pertumbuhan ekonomi tidak boleh dicapai
melalui produksi barang dan jasa yang tidak penting atau secara moral
dipertanyakan
b. Tidak boleh memperlebar jurang perbedaan
antara yang miskin dan kaya dengan jalan mendorong konsumsi yang tidak habis
c. Tidak boleh membahayakan generasi
sekarang ataupun generasi mendatang dengan mendegradasikan moral mereka ataupun
lingkungan fisik.
2)
Keadilan sosio-ekonomi dan pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteraan,
salah satunya melalui mekanisme zakat.
3)
Stabilitas dalam nilai uang sehingga memungkinkan medium
of exchange dapat
dipergunakan sebagai satuan perhitungan, patokan yang adil dalam penangguhan pembayaran,
dan nilai tukar yang stabil.
4)
Mobilisasi dan investasi tabungan bagi pembangunan ekonomi dengan suatu cara
yang menjamin pengembalian yang adil bagi semua pihak yang terlibat.
5)
Mewujudkan jasa-jasa lain.
Mobilisasi tabungan dan investasi tidak hanya diperlukan bagi
hal-hal yang sifatnya produktif saja, melainkan pula untuk mengembangkan pasar
uang primer dan sekunder, mewujudkan jasa perbankan lain, dan memenuhi
kebutuhan akan keuangan non-inflationary bagi pemerintah.
D. Kebijakan
Moneter dalam Kajian Ekonomi Islam
Sebelum dimulainya masa Islam, sistem moneter beserta
kebijakannya sudah dimiliki oleh bangsa Quraisy walaupun masih dalam bentuk
yang sederhana. Seiring berjalannya waktu dan ketika Khalifah Umar Radhiyallahu
Anhu memerintah
Islam pada 634 – 644 M terdapat beberapa perubahan yang dilakukan pada saat
itu.
Beberapa kebijakan yang ditetapkan oleh Khalifah Umar Radhiyallahu
Anhu dalam mengatur
sektor moneter antara lain:
1.
Islam melarang segala sesuatu yang akan berdampak pada bertambahnya gejolak
dalam daya beli, dan ketidakstabilan nilai uang, misalnya:
a.
Pengharaman perdagangan uang, yaitu dengan pengharaman riba.
b.
Pengharaman penimbunan.
c.
Pengawasan ketat terhadap inflasi serta penyelesaian dampak-dampak inflasi.
2. Larangan bermuamalah dengan uang palsu.
3.
Melindungi inflasi dengan menghimbau masyarakat untuk menginvestasikan uang,
sederhana dalam belanja, serta melarang berlebih-lebihan dan
menghambur-hamburkan uang.
4.
Penyatuan moneter melalui pencetakan dirham yang sesuai dengan ketentuan Islam,
yaitu sebesar enam daniq.
a.
Sistem
Moneter dalam Ekonomi Islam
Aktivitas moneter
memainkan peranan penting dalam perekonomian. Peran penting dari aktivitas ini
dapat dilihat dari ketatnya upaya pengendalian dan penstabilan ekonomi terhadap
tingginya volume dan cepatnya perputaran kapital pada industri jasa keuangan.
Tingkat bunga menjadi hal yang wajar dalam sistem ekonomi kapitalis. Pada
perkembangannya, sistem ekonomi kapitalis menyebabkan kesenjangan sosial
masyarakat. Negara-negara miskin dan berkembang kerap dieksploitasi oleh
negara-negara maju, terutama dari segi sumber daya alamnya yang berakibat pada
semakin bertambahnya kemiskinan, kebangkrutan, dan kerusakan lingkungan di
negara-negara miskin dan berkembang. sistem kapitalis pun dianggap gagal menjamin
kemaslahatan dunia (Pratikto, H., 2012: 192).
Berkembangnya ekonomi
Islam sebagai alternatif baru dari sistem ekonomi kapitalisme. Ekonomi Islam
diharapkan dapat memberikan solusi terkait yang lebih efektif dibanding
aktifitas dan pengelolaan moneter berdasarkan sistem kapitalisme yang
berdimensi riba yang memberi keuntungan dengan cara yang paling mudah dan
paling cepat. Cara yang paling mendasar dalam menghapus riba pada aktifitas
moneter adalah dengan mengkaitkan kembali sektor moneter dengan sektor riil.
Cara yang paling dimungkinkan dalam skala global adalah dengan mengembangkan
aktifitas perdagangan internasional secara syariah karena dalam aktifitas
itulah sektor moneter dan sektor riil berskala global dapat disatukan sekaligus
menghilangkan praktik riba dan sejenisnya.
Dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi sekaligus stabilitas, Islam tidak menggunakan instrumen
bunga atau ekspansi moneter melalui pencetakan uang baru atau defisit anggaran.
Yang dilakukan adalah mempercepat perputaran uang dan pembangunan infrastruktur
sektor riil. Kebijakan moneter Rasulullah selalu terkait dengan sektor riil
perekonomian. Hasilnya adalah pertumbuhan sekaligus stabilitas. Syekh Abdul
Qadim Zallum (dalam buku Pratikto, H., 2012: 193) mengatakan bahwa sistem
moneter atau keuangan adalah sekumpulan kaidah pengadaan dan pengaturan
keuangan dalam suatu negara. yang paling penting dalam setiap keuangan adalah
penentuan satuan dasar keuangan dimana dinisbahkan seluruh nilai-nilai berbagai
mata uang.
Pada zaman Rasulullah
dan Khulafaur Rasyidin, kebijakan moneter dilaksanakan tanpa menggunakan
instrumen bunga sama sekali. Dalam perekonomian kapitalis, tingkat bunga
seringkali berfluktuasi. Penghapusan bunga dan kewajiban membayar zakat sebesar
2,5% setahun tidak hanya dapat meminimalisasikan permintaan spekulatif akan
uang maupun penyimpanan uang yang diakibatkan oleh tingkat bunga, melainkan
juga memberikan stabilitas yang lebih tinggi terhadap permintaan uang. Bank
Islam harus mengarahkan kebijakan moneternya untuk mendorong pertumbuhan dalam
penawaran uang yang cukup untuk membiayai pertumbuhan potensial dalam output
jangka menengah dan jangka panjang demi mencapai harga yang stabil dan tujuan
sosial Islam.
Perekonomian Arab di
zaman Rasulullah SAW bukanlah ekonomi barter, bahkan jauh dari itu. Valuta
asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab,
bahkan menjadi alat pembayaran resmi. Untuk menjaga stabilitas ekonomi,
beberapa hal berikut ini dilarang, yaitu:
a. Permi
b. ntaan
yang tidak riil. Permintaan uang hanyalah untuk keperluann transaksi dan
berjaga-jaga.
c. Penimbunan
mata uang.
d. Transaksi
talaqqi rukban, yaitu mencegat penjual dari kampung di luar kota untuk mendapat
keuntungan dari ketidakpastian harga.
e. Transaksi
kali bi kali, yaitu bukan transaksi tidak tunai. Transaksi tunai dibolehkan
namun transaksi future tanpa ada barang dilarang.
f. Segala
bentuk riba.
Islam tidak mengenal inflasi karena
mata uang yang digunakan adalah dinar dan dirham yang mempunyai nilai stabil
dan dibenarkan dalam Islam. Adhiwarman Karim (dalam buku Pratikno, H., 2012:
196) mengatakan bahwa Syeikh Taqyuddin An-Nabhani memberikan beberapa alasan
mengapa mata uang yang sesuai adalah emas, yaitu:
a. Ketika
Islam melarang praktik penimbunan harta, Islam hanya mengkhususkan larangan tersebut
untuk emas dan perak, padahal harta itu mencakup semua barang yang bisa
dijadikan sebagai kekayaan.
b. Islam
telah mengaitkan emas dan perak dengan hukum yang baku dan tidak berubah-ubah.
Ketika Islam mewajibkan diyat maka yang dijadikan sebagai ukurannya adalah
dalam bentuk emas.
c. Rasulullah
telah menetapkan emas dan perak sebagai mata uang dan beliau menjadikan hanya
emas dan perak sebagai standar uang.
d. Hukum-hukum
tentang pertukaran mata uang yang terjadi dalam transaksi uang hanya dilakukan
dengan emas dan perak, begitupun dengan transaksi lainnya hanya dinyatakan
dengan emas dan perak.
b. Manajemen
Moneter Islam
Pada
masa kedinastian Islam, mata uang yang berlaku adalah emas dan perak. Rasio
peredaran dinar dibandingkan dirham sebesar 1:10 hanya berlaku sampai pada masa
keempat khalifah. Setelah periode keempat khalifah, rasio ini terus berubah di
berbagai negara-negara Islam mulai dari 1:35 hingga mencapai 1:50.
Ketidakstabilan rasio ini mengindikasikan bahwa orang lebih senang menyimpan
dalam mata uang dinar dan menggunakan dirham sebagai alat transaksi sehingga
peredaran dinar semakin kecil. Akhirnya, semakin lama standar dua metal
tersebut tidak dipakai lagi secara universal karena fluktuasinya. Selanjutnya
dimulailah masa metal tunggal dengan emas sebagai standar mata uang yang
berlaku secara universal. Gold currency
standart dikenal dengan tiga variasi, yaitu :
a.
Gold coin standard merupakan
sistem moneter di mana gold coin aktif beredar di masyarakat sebagai
standar alat tukar.
b.
Gold bulion standard merupakan standar moneter dengan
keterntuan-ketentuan sebagai berikut:
-
Mata
uang nasional disetarakan dengan emas
-
Emas
disimpan oleh pemerintah dalam bentuk bar atau batangan
-
Emas
tidak beredar dalam perekonomian
-
Emas
tersedia untuk tujuan industri dan transaksi-transaksi internasional dari bank
c.
Gold exchange standart atau dikenal sebagai Bretton Woods System, yaitu merupakan kesepakatan internasioanal di
bidang moneter di mana mata uang merupakan fiat
money yang dapat dikonversikan ke dalam emas dengan tingkat harga tertentu.
Dalam
manajemen moneter Islam, untuk mencapai kestabilan perekonomian maka ada
beberapa hal pokok yang mendasar, antara lain:
a.
Uang
untuk investasi produktif
Manajemen
moneter berdasarkan suku bunga berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan pokok
dan pemerataan distribusi pendapatan. Golongan kaya umumnya memanfaatkan dana
tidak hanya untuk kepentingan investasi yang produktif melainkan juga untuk
konsumsi barang-barang mewah sebagai simbol status sosial dan juga untuk
spekulasi. Tentunya kegiatan ekonomi konvensional tersebut tidak terlepas dari
suku bunga yang cenderung memperkecil permintaan uang untuk kegiatan-kegiatan
pemenuhan kebutuhan pokok dan investasi yang produktif dan memperbesar
permintaan uang untuk kegiatan non-produktif dan spekulatif yang pada akhirnya
berakibat pada kegagalan pencapaian tujuan pembangunan ekonomi negara. Dalam Islam,
permintaan uang harus diarahkan pada upaya untuk investasi produktif dan
mengembalikan motif permintaan uang pada fungsi yang sebenarnya.
b.
Permintaan
uang
Manajemen
moneter Islami (syari’ah) adalah manajemen moneter yang efisien dan adil tidak
berdasarkan pada mekanisme suku bunga, melainkan menggunakan tiga instrumen
utama yaitu:
-
Value judgements yang dapat menciptakan suasana yang
memungkinkan alokasi dan distribusi sumber yang sesuai dengan ajaran Islam.
Berdasarkan nilai-nilai Islam, permintaan uang harus dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan dasar dan investasi yang produktif, sama sekali bukan untuk
konsumsi yang berlebihan, pengeluaran-pengeluaran non produktif, dan
spekulatif.
-
Kelembagaan
yang berkaitan dengan kegiatan sosial
ekonomi dan politik yang salah satunya adalah dapat menciptakan mekanisme harga
dan meningkatkan efisiensi dalam pemanfaatan sumber.
-
Mekanisme
lembaga perantara keuangan yang beroperasi berdasarkan sistem bagi hasil. Dalam
sistem ini permintaan uang untuk pemanfaatan uang dialokasikan dengan syarat
hanya untuk proyek-proyek yang bermanfaat dan hanya kepada debitur yang mampu
mengelola proyek secara efisien.
c. Operasi
Pasar Terbuka (OPT)
Metode ini berkenaan dengan pembelian dan
penjualan sekuritas pemerintah dan obligasi di pasar uang. Dalam hal ini OPT memperkenalkan dua
instrumen OPT yang sesuai dengan syari’ah yaitu CMC (The Central Bank Musharaka Certificate) dan GMC (Government Musharaka Certificate).
a.
CMC (The Central Bank Musharaka Certificate)
Merupakan
sekuritas yang berdasarkan sistem bagi hasil dengan karakteristik sebagai
berikut :
1.
Tidak
mempunyai tanggal jatuh tempo
2.
Berbasis
ekuitas dalam jumlah tertentu dari investasi bisnis dan pemerintah di bank-bank
komersial
3.
Mempunyai
nilai nominal uniform yang sebanding dengan nilai akuntansi dari
total jumlah investasi dibagi jumlah CMC yang diterbitkan
4.
Dapat
diperdagangkan oleh pemilik di pasar sekunder melalui prosedur administrasi
standar, sedangkan pada pasar primer penjual adalah melalui pelelangan
b.
GMC (Government Musharaka Certificate)
Merupakan
instrumen yang memungkinkan pemerintah untuk melakukan pengumpulan dana melalui
penerbitan sekuritas yang menjanjikan pada investor suatu pengembalian yang
dinegosiasikan sebelumnya atas dasar investasi mereka pada kumpulan aset
pemerintah yang berbentuk kepemilikan pada perusahaan-perusahaan publik atau
patungan yang menguntungkan dalam operasinya. Secara garis besar kegunaan GMC
adalah :
1.
Untuk
pembiayaan anggaran
2.
Instrumen
OPT bagi pelaku bisnis
3.
Mobilisasi
tabungan nasional
4.
Mendorong
investasi
5.
Sebagai
alat pengembangan pasar uang yang sesuai dengan syari’ah Islam
Merupakan
sekuritas yang dimaksudkan untuk memobilisasi simpanan jangka panjang yang
digunakan untuk pembangunan proyek infrastruktur jangka panjang yang dilakukan
melalui sekuritas aset pemerintah berwujud seperti jalan raya, pabrik, sekolah,
dan lainnya. Sukuk ini adalah instrumen finansial yang merepresentasikan tiga
perjanjian dasar, yaitu:
1.
Perjanjian
pembelian aset
2.
Perjanjian
sewa menyewa
3.
Perjanjian
penjualan aset
BAB
III
KESIMPULAN
A. kebijakan
moneter ini adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian
melalui pengaturan jumlah uang beredar. dalam kebijakan moneter syariah tidak
dikenal sistem bunga, maka bank sentral tidak dapat menerapkan kebijakan discount rate. Dengan menghapuskan
sistem bunga ini tidak menjadi penghambat dalam mengontrol jumlah uang beredar
dalam perekonomian
B. terdapat beberapa
instrumen kebijakan moneter dalam
ekonomi Islam, antara lain; Reserve Ratio, Moral Persuassion, Lending Ratio, Refinance Ratio, Profit Sharing Ratio, Islamic Sukuk, Government
Instrument Certificate.
dua istrumen besar
yang dapat diterapkan, yaitu: Kontrol
kuantitatif penyaluran kredi dan Merealisasikan
tujuan sosio-ekonomi
C. Dalam sudut pandang Islam, sektor
moneter berperan sebagai penyokong sektor riil. Uang dan perbankan sebagai
bagian dari sistem moneter haruslah digunakan untuk mencapai tujuan tujuan
utama sosio ekonomi Islam
D. Dalam manajemen moneter Islam, untuk mencapai
kestabilan perekonomian maka ada beberapa hal pokok yang mendasar, adalah Uang
untuk investasi produktif dan Permintaan uang
DAFTAR RUJUKAN
Aini, RN. 2014. Kebijakan Moneter Syariah. Academia.Edu,(online),
(https://www.academia.edu/8038591/Kebijakan_Moneter_Syariah), diakses 16
januari 2015
Idris,
M. 2014. Uang dan kebijakan moneter dalam
islam. (online). (http://www.slideshare.net/khusnulkh9/savedfiles?s_title=makalah-uang-kebijakan-moneter-dalam-ekonomi-islam&user_login=idrisrahmatan). Diakses pada
16 januari 2015
Muhammad. 2002. Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islami. Jakarta: Salemba Empat
Ningsih,
K. 2013. Jalur Pembiayaan Bank Syariah Dalam Mekaisme Transmisi Kebijakan Moneter
Di Indonesia. Junal ilmiah mahasiswa UB, (online), (http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/view/701/643),
diakses 16 januari 2015
Pratikto, Heri. 2012. Bahan ajar Ekonomi syariah. Malang:
Universitas Negeri Malang
Purnama,
B. 2013. kebijakan Moneter dalam ekonomi
islam. (online). (http://makalahkite.blogspot.com/2013/11/kebijakan-moneter-dalam-ekonomi-islam.html ) diakses pada
16 Januari 2015
Tanpa nama. 2014. Instrumen Kebijakan Moneter dalam Ekonomi Islam, (online). (http://www.islamcendekia.com/2014/02/instrumen-kebijakan-moneter-dalam-ekonomi-islam.html) diakses 16 januari 2015
Universitas
Negeri Malang. 2010. Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian. Edisi Kelima. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar